IBU KOTA RANTAU KAMPAR KIRI
Seandainya
Rantau Kampar Kiri sebentuk cincin emas,
maka
Kenegerian Lipatkain adalah mata cincin nya.
1. Sejarah Kenegerian Lipatkain
Dalam tombo adat Kenegerian Lipatkain yang diwariskan secara
lisan dari generasi ke generasi disebutkan bahwa, pada zaman dahulu kala
datanglah dua orang datuk kedaerah Lipatkain secara bersamaan yaitu datuk
pertama bernama Datuk Sutan Lawik Api beliau, datang dengan perahu dari selat
Malaka mudik ke Sungai Ombun (Batang Kampar Kiri) dan singgah (maontak Gala, membuang sauh) di daerah
yang sekarang Lipatkain. Ditepi sungai tersebut Datuk Sutan Lawik Api Manundo Kapae Sosak, Malambe (menebas) Kalimunting membuat
ladang dan kebun. Tidak jauh disebelah hulu sungai datang pula seorang Datuk
dari hulu sungai Kampar Kiri yaitu dari daerah Gunung Merapi (Pagaruyung) yaitu
Datuk Godang menghilir dari hulu dan singgah membuat ladang dan kebun pula.
Kemudian disaat kedua Datuk tadi berburu binatang, dan menggumpulkan makanan dihutan( foodghatering). Maka berjumpalah mereka
berdua, maka terjadilah dialok diantara
keduanya tentang siapa yang dahulu datang di daerah Lipatkain ini.
Masing-masing datuk mengakui dirinya yang dahulu datang dan berhak atas daerah
Lipatkain dengan menunjukkan tanda-tanda masing-masing.
Setelah menunjukkan bukti masing-masing ternyata kedua datuk
memang datang bersamaan, sehingga mereka bersepakat untuk tinggal bersama-masa
membangun kampuong, dan ladang serta membuat janji persaudaraan layak nya adik
dan kakak.
Disaat kedua datuk sedang berburu di atas sebuah bukit,
mereka melihat asap api yang sangat besar di daerah aliran sungai Singingi.
Maka kedua Datuk kedaerah berangkat menyelusuri sungai Singingi melihat apa gerangan yang terjadi. Didaerah
Singingi kedua datuk menemui kampuong yang tengah terbakar dan mayat-mayat yang
berserakan, rupanya daerah Singingi diala (diserang Garuda), maka terjadilah
pertempuran antara Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang dengan Garuda,
sehingga Sang Garuda dapat dibunuh.
Setelah Garuda dapat dibunuh, datuk-datuk tersebut mendengar
tangisan anak kecil diantara reruntuhan rumah yang hancur diamuk Garuda.
Direruntuhan rumah tersebut Sang Datuk menemukan seorang gadis kecil yang
selamat. Maka gadis kecil tersbut di bawah ke Kampuong Lipatkain dan dibesarkan
oleh kedua orang datuk tersebut.
Setelah berlalunya waktu, hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun pun berganti. Maka gadis kecil
yang bernama “Puti Majo” beranjak remaja dan dewasa maka tampaklah kecantikan dan rupawan nya
sang Putri. Melihat paras yang rupawan maka jatuh hatilah kedua datuk pada Puti
Majo, maka jadilah perselisihan tentang siapa yang berhak untuk mengawini Sang
Putri.
Puncak dari persingan antara kedua Datuk, maka terjadilah
pertarungan antara keduanya, setelah sekian lama bertarung, saling adu
kesaktian, rupanya kedua datuk sama-sama pendekar dan tidak ada yang menang dan
kalah. Setelah lelah bertarung maka dibuatlah kesepakatan untuk bersama-sama
meninggalkan Kampuong dan meninggalkan Puti Majo sendirian. Datuk Godang lari
keseberang Kampuong dan menetap disana, sedangkan Datuk Sutan Lawik Api lari ke
hulu Batang Olang dan menetap pula disana.
Tidak lama berselang maka datanglah Datuk Sinaro kedaerah
Lipatkain dari pesukuan Mandailing/Maliling, di daerah Lipatkain tersebut
Datuk Sinaro menemui seorang gadis menangis sendirian. Gadis tersebut adalah
Puti Majo, Puti Majo menceritakan kisah tentang kedua Kakak angkat nya yaitu
Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk Godang yang berselisih dan meningalkan Kampuong
karena memperebutkan dirinya. Dan meminta Datuk Sinaro untuk menjemput keduanya
kembali ke Kampuong.
Maka Datuk Sinaro berhasil membujuk kedua datuk untuk
kembali kekampuong Lipatkain dan memperdamaikan keduanya. Maka dibutlah
kesepakatan bahwa Datuk Sutan Lawik Api, Datuk Godang dan Puti Majo adalah
bersaudara dan tidak boleh saling menikahi hal ini juga berlaku bagi anak
keturunan mereka hingga hari ini(Cilampuong
pata baindiak sutonyo batali juo). Maka Puti Majo dinikahi oleh Datuk
Sinaro maka Datuk Sinaro menjadi simondo dari Datuk Sutan Lawik Api dan Datuk
Godang.
Maka dibagilah kekuasaan diantara datuk-datuk tersebut
dimana Datuk Sutan Lawik Api adalah Pemilik Rantau, Datuk Godang Pemilik tanah
Ulayat dan Puti Majo Pemilik Negeri, sehingga ketiga datuk adalah penguasa
dinegeri Lipatkain dengan sebutan (Datuk
Batigo). Sedangkan Datuk Sinaro adalah Suluh Negeri (Andiko Besar). Maka dibuatlah sebuah Negeri dengan nama Negeri
Bungo Setangkai, inilah nama awal dari negeri Lipatkain.
Kemudian datanglah beberapa suku lagi kenegeri Bungo
Setangkai yaitu suku Melayu Palokoto, Suku Melayu Bendang, suku Nelayu nan
ompek, suku Domo, sehingga negeri Bungo Setangkai didiami oleh delapan suku
sehingga berdirinya kerajaan Gunung Sailan.
Pada masa kerajaan Gunung Sailan terjadilah perkara yang tak
selesai-selesai di negeri Bungo Setangkai dimana negeri terbelah menjadi dua
praksi besar delapan suku terpecah menjadi dua golongan yang masing masing
kokoh pada pendiriannya. Sehingga setiap persoalan tidak bisa diambil kata
sepakat.
Persoalan ini sampai kepada Raja Gunung Sailan, maka raja
mengambil keputusan untuk menempatkan keturunannnya dari suku Piliang untuk
menetap di Lipatkain sebagai penengah dari delapan suku yang berselisih.
Sehingga negeri Lipatkain terdiri dari sembilan suku.
Budaya dan Adat Istiadat Kenegerian
Lipatkain
Masyarakat Adat kenegerian Lipatkain secara kebudayaaan
menganut kebudayaan matrilineal yaitu garis kekerabatan ditarik dari pihak ibu,
Kebudayan ini dikenal dengan budaya Minangkabau. Sedangkan system perkawinan
nya adalah system matrilokal dimana seseorang harus mencari pasangan diluar suku
atau klannya.
Secara adat-istiadat penduduk kenegerian Lipatkain terdiri
dari Sembilan suku/pesukuan yaitu terdiri dari :
1. Suku Pitopang Basa dengan kepala
suku Dt. Jalelo
2. Suku Pitopang Tonga dengan kepala
suku Dt. Godang
3. Suku Melayu Palokoto dengan
kepala suku Dt. Paduko Majo
4. Suku Mandailing/Maliling dengan
kepala suku Dt. Sinaro
5. Suku Melayu Bendang dengan kepala
suku Dt. Tanaro
6. Suku Piliang dengan kepala suku
Dt. Mongguong/Tumenggung
7. Suku Domo dengan kepala suku Dt.
Paduko Tuan
8. Suku Melayu Nan Ompek kepala suku
Dt. Mahudum
9. Suku Melayu Datuk Marajo dengan
kepala suku Dt. Majo
Satu
suku/pesukuan disebut juga satu Kampuong, satu kampuong terdiridari beberapa
keluarga yang masih memiliki hubung kekerabatan dari pihak ibu.satu
suku/kampuong di perintah oleh Ninik Mamak di
Sebut “ Baompek Dalam Kampuong
Balimo Jo Ughang Tuo” yaitu terdiri dari
1. Mamak Godang Ka Nagoghi ( Kepala
Suku)
2. Mamak Godang Ka Kampuong
3. Malin
4. Dubalang
5. Ughang Tuo
Masing-masing memiliki tugas dan wewenang tersendiri dalam
suatu satuan hukum
adat di tingkat Kampuong terhadap rakyat yang disebut dengan sebutan
“Kamanakan”. (dihimpun dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar