Senin, 21 Desember 2015

SEJARAH DAN ADAT RANTAU SINGINGI



BAB I PENDAHULUAN
Adat Rantau Singingi adalah merupakan aturan hidup dalam bermasyarakat yang digunakan oleh seluruh masyarakat Rantau Singingi yang dibentuk dan disusun oleh leluhurnya yaitu Datuk Parpalik Nan Sabatang dan Datuk Katamanggungan melalui Datuk Bandaro. Ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya membedakan dengan tajam dan nyata perilaku dan perbuatan antara manusia dan hewan, yang berdasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi pekerti baik dan bermoral mulia antara sesama manusia dan alam lingkungannya.
Dalam pepatah adat itu sendiri telah mengatakan bahwa “Sawah diagiah bapamatang, Ladang dibori bamintalah, Ndak babeso tampurung dengan sadah, Ndak babikeh minyak dengan aie”. Artinya, adat itu mengatur tata kehidupan masyarakat, baik secara perorangan maupun secara bersama dalam setiap tingkah laku dan perbuatan yang berdasarkan kepada budi pekerti yang baik dan akhlak yang mulia, sehingga setiap pribadi dapat merasakan kedalam dirinya sendiri apa yang dirasakan oleh orang lain seperti dalam pepatah adat pun mengatakan “Bak adat bapighik kulit, Sakik dek awak sakik dek urang, Sonang dek awak sonang dek urang, Elok dek awak katuju dek urang”.
Berbicara mengenai adat Rantau Singingi haruslah dilihat secara menyeluruh, karena adat Rantau Singingi adalah satu kesatuan dari keseluruhan. Walaupun pada dasarnya adat Rantau Singingi ini terdiri dari empat jenis, namun satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan karena teridiri dari “Adat nan babuhua mati” dan “Adat nan babuhua sentak”.
Adat nan babuhua mati adalah merupakan hukum dasar baik tentang ketentuan-ketentuan pokok dari adat nan diadatkan oleh nenek moyang maupun tentang aturan-aturan pelaksanaan dari yang disebut Adat nan babuhua sentak. Adat nan babuhua mati adalah aturan-aturan adat yang tidak bisa diubah-ubah walaupun dengan kata mufakat sekalipun, seperti pepatah mengatakan “Tak lokang dek paneh, Tak lapuak dek hujan, Dianjak takkan layu, Dibubuik takkan mati, Dibasuah bahabi aie, Dikiki bahabi bosi”. 
Adat nan babuhua sentak adalah aturan-aturan yang dibuat berdasarkan kata mufakat dari pemuka-pemuka adat Rantau Singingi. Disetiap koto boleh diubah dan berbeda asalkan berdasarkan kesepakatan pula, seperti pepatah mengatakan “Lain lubuak lain ikanyo, Lain padang lain belalangnyo, Lain koto lain adatnyo”.
Dan berdasarkan pepatah adat, jelas dinyatakan bahwa adat Rantau Singingi itu mempuyai aturan yang membedakan antara manusia dengan hewan dalam tingkah laku dan perbuatan, maka jelaslah bahwa adat itu dapat mengatur kehidupan manusia dari hal-hal yang kecil seperti misalnya bagaimana seharunya cara seseorang itu duduk, berjalan, berbicara, makan, minum, melihat, memanggil yang tua dan yang muda, yang besar dan yang kecil dengan tetap berlandaskan kepada “Elok dek awak katuju dek urang”, sekali-kali janganlah bertingkah atau berbuat hanya untuk mementingkan dan kepentingan sendiri, hingga kepada masalah yang lebih besar dan luas seperti misalnya mengatur tentang pentingnya hubungan sesama manusia, baik secara perorangan maupun bermasyarakat dan dengan tetap berlandaskan “Elok dek awak katuju dek urang” atau “Nan kuriak iyolah kundi, Nan merah iyolah sago, Nan baik iyolah budi, Nan indah iyolah baso”.
Adat Rantau Singingi juga sangat mengatur tentang pentingnya mewujudkan persatuan yang merupakan kekuatan dan modal dalam hidup bermasyarakat. Hal ini dimulai dari lingkungan yang kecil sampai ke lingkungan yang lebih besar dan luas. Seperti halnya hubungan didalam sebuah keluarga, hubungan antara keluarga satu dengan keluarga yang lain, hubungan antara kampung satu dengan kampung yang lain, atau hubungan antara suku yang satu dengan suku yang lain. Dan apabila persatuan itu telah terwujud sebagaimana mestinya maka seperti “Saciok bak ayam, Sadonciang bak bosi, Sakobek bak lidi, Sarumpun bak sorai, Salubang bak tabu, Satandan bak pisang”, tinggallah lagi bagaimana kita bisa mepergunakan kekuatan tersebut.
Oleh karena itu, dalam hal ini sangatlah diperlukan prinsip musyawarah untuk mencari mufakat sehingga dapat menjadikan persatuan didalam masyarakat lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dengan demikian maka jelaslah bahwa sebelum agama Islam masuk ke Rantau Singingi, aturan-aturan yang ada didalam adat Rantau Singingi itu telah didasarkan kepada budi pekerti yang baik dan akhlak yang luhur, saling hormat menghormati, cinta mencintai dan tolong menolong serta prinsip dasar demokrasi yaitu musyawarah untuk mufakat. Dan berdasarkan prinsip-prinsip inilah masyarakat Rantau Singingi dapat mencapai tujuan bersama yaitu “Bumi sanang pada menjadi”.
Kemudian setelah agama Islam masuk ke Rantau Singingi dan setelah masyarakatnya memeluk agama islam, ajaran-ajaran yang terdapat dalam adat tidak pernah bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah, bahkan tidak sedikit ajaran-ajaran adat itu sejalan dengan ajaran-ajaran dari agama islam, oleh karena itu maka lahirlah suatu istilah dalam adat Rantau Singingi itu yang berbunyi “Adat basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah”, “Syarak mangato, Adat Mamakai”.
Dengan masuk dan memeluk agama islamnya masyarakat Rantau Singingi adalah merupakan suatu berkah dan rahmat dari Allah SWT, bukan hanya kepada masyarakatnya tetapi juga terhadap adatnya, sehingga menjadikan adat Rantau Singingi semakin kuat dan kokoh, seperti yang dikiaskan dalam pepatah adat “Rumah godang basondi batu, Kuat rumah karono sondi, Rusak sondi rumah binaso”.
Setelah masyarakat Rantau Singingi memeluk agama islam, dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan islam, selanjutnya adat Rantau Singingi memiliki lima ajaran pokok, yaitu :
1. Kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Khaliqnya,
2. Kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia,
3. Kaidah yang mengatur tentang menjalin dan membina persatuan, 
4. Kaidah yang mengatur untuk tetap memegang teguh prinsip musyawarah dan mufakat,
5. Kaidah yang mengatur tentang cara untuk mencapai suatu tujuan agar tetap menggunakan keempat kaedah tersebut diatas.
Kelima macam kaedah atau ajaran adat tersebut diatas kemudian dihimpun dalam suatu pepatah adat yang berbunyi “Syarak mangato, Adat mamakai, Comin nan indak kabua, Palito nan indak padam”.  
Dan selain itu ada pula pepatah adat yang mengatakan ”Waris dari pada Nabi, Syarak Mengato, Adat memakai, Adat dipakai Limbago di tuang, Gelar diwariskan pisoko di tolong, Basurau bamasjid, Babalai bagonjong, Bajalan lurui bakato bonar, Menghukum Adil ”. 
Insya Allah, dengan selesainya penulisan buku ini semoga para pembaca yang budiman dapat menemukan dan mengetahui lebih mendalam tentang adat Rantau Singingi yang dalam penulisannya kami tetap berpedoman dan berdasarkan “Nan kuriak iyolah kundi, Nan merah iyolah sago, Nan baik iyolah budi, Nan indah iyolah baso” .
BAB II SEJARAH ASAL USUL NAMA RANTAU SINGINGI
Singingi berasal dari nama sebuah sungai yang dahulunya bernama Sungai Ngiang (sekarang Sungai Singingi). Disebut Sungai Ngiang karena diambil dari kata Terngiang-ngiang (terdengar). Terngiang-ngiang karena kayanya sumber daya alam yang terkandung didalamnya terutama emas. Karena sedemikian banyaknya emas di daerah tersebut,sehingga populerlah istilah pada waktu itu “Sekupang Seontak Galah” jadi istilah tersebut yang Terngiang-ngiang dan tersebar kemana-mana. Berita ini dibawa oleh orang-orang yang telah menelusuri dan menjelajahi sungai Singingi dan tersebar luas hingga ke daerah Minangkabau.
Singingi adalah sebuah sungai yang berhulu dari sisi timur gugusan bukit barisan (Perbatasan Provinsi Riau dengan Sumatra Barat) atau dari arah barat daya dan terbentang mengarah ke utara dan bermuara ke sungai Kampar Kiri (Kab. Kampar). Sepanjang bentangan sungai Singingi ini terdapat banyak sungai-sungai kecil yang bermuara kepadanya, sehingga lahirlah sebuah pepatah “Air yang berkecucuran dan tanah yang berketelengan ke sungai Singingi” itulah yang disebut dan dinamakan “Rantau Singingi”.
BAB III SEJARAH ASAL USUL PENDUDUK RANTAU SINGINGI
A. SEJARAH KEDATANGAN MAKMUM DATUAK SIMPONO RAJO DIPOCO
1. KEDATANGAN MAKMUM DATUK SIMPONO RAJO DIPOCO DAN TERBENTUKNYA KOTO LOWE INTUAK
Berawal dari berita yang dibawa oleh orang-orang yang telah menelusuri dan menjelajahi sungai Singingi dan sungai Subayang hingga ke Gunung Sahilan, bahwa disungai Singingi tersebut terdapat kandungan emas yang berlimpah, dan berita ini pun sampai kedaerah Sungai Tarap di Pagaruyung.
Mendengar berita tersebut, maka Datuk-datuk para kepala suku yang berada di Sungai Tarap (Pagaruyung) bermaksud untuk mencari daerah baru yang belum dikuasai oleh orang lain. Kemudian mereka duduk bersama untuk berunding yaitu MAKMUM Datuak Simpono Rajo Dipoco (Mamak Kanduang / Paman dari Datuk Bandaro Sungai Tarap - Pagaruyung), MURSID Datuk Simpono Dipoco dan RABAH Datuk Simpono Mulio dan sepakatlah mereka untuk turun kedaerah-daerah tersebut.
Pada abad ke 15 (Sekitar tahun 1424 M) berangkatlah ketiga rombongan dari datuk-datuk tersebut diatas dari Sungai Tarap Pagaruyung (Sumatra Barat) menuju Sumpu Kudus hingga ke bukit Penyabungan dan turun ke hulu Sungai Singingi. Dari hulu sungai Singingi sampailah mereka ke daerah Kujano (Koto Jano) dan mereka beristirahat disini serta bermusyawarah untuk menentukan kerah mana tujuah mereka masing-masing. Setelah melakukan musyawarah, maka didapatlah kesimpulan bahwa :
1. Rombongan MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco, turun ke daerah Singingi.
2. Rombongan MURSID Datuk Simpono Dipoco, turun ke daerah Subayang.
3. Rombongan RABAH Datuk Simpono Mulio, turun ke daerah Kuantan.
Sebelum mereka berangkat dan berpisah, mereka berjanji, bahwa “Barang Siapa Mendapat Kesulitan dan Musibah Agar Dapat Memberi Kabar Kepada Yang Lainnya, Supaya Dapat Tolong Menolong, Yang Berat Sama Dipikul, Yang Ringan Sama Dijinjing. Dan Barang Siapa diantara Kita Yang Meninggal Dunia Supaya Dapat Diziarahi”. Selanjutnya merekapun berpisah dan berangkat menuju arah masing-masing.
Rombongan MURSID Datuk Simpono Dipoco berangkat dari Koto Jano menuju Pematang Sikai dan turun ke hulu Sungai Subayang. Rombongan RABAH Datuk Simpono Mulio berangkat dari Koto Jano menuju Bukit Pembantaian Kobou Tonga Duo Iku - Lubuk Ambacang selanjutnya ke Tobek Sigadobang – Mudik Ulo dan turun ke sungai Kuantan. Sedangkan Rombongan MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco yang lahir pada tahun 1376 M (Mamak Kanduang / Paman dari Datuk Bandaro Sungai Tarap - Pagaruyung) langsung menelusuri sungai Singingi kearah hilir hingga sampai kesuatu tempat yang memiliki dataran yang cukup luas yaitu didaerah sungai Intuak. Didataran sungai Intuak inilah mereka akhirnya bermukim dan menetap, kemudian daerah ini diberi nama “Koto Lowe Intuak”. Setelah sekian lama tinggal dan bermukim di Koto Lowe Intuak ini MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco selalu berhubungan dengan kemenakannya Datuak Bandaro di Sungai Tarap – Pagaruyung, dan selalu menyampaikan informasi tentang daerah baru yang mereka tempati. Karena Koto Lowe Intuak telah dikenal akan luas dan kesuburan tanahnya, maka mulailah berdatangan cucu kemenakan Datuk Bandaro di Sungai Tarap – Pagaruyung ketempat ini.
Setelah Koto Lowe Intuak tertata dan teratur sedemikan rupa, MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco berkeinginan untuk memperluas wilayahnya, dan selanjutnya menjelajahi dan menguasai daerah Sungai Singingi sebelah barat hingga ke muara sungai Singingi dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Dihulu Sungai Subayang sebelah kiri berbatasan dengan Datuk Bandaro Candiek, yaitu Pematang Sikai dan Gunung Seru.
2. Dimuara sungai Singingi berbatasan dengan Datuk Besar di Subayang, yaitu Sianik Putiah dan Bukit Buluh Ampai. Dengan batas alam yaitu “Tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke Subayang adalah daerah kekuasaan Datuk Besar di Subayang, dan tanah yang berketelengan dan air yang berkecucuran ke Singingi adalah daerah kekuasaan MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco”.
Setelah MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco selesai menjelajahi dan memperluas daerah kekuasaannya, maka beliau kembali kepusat wilayah kekuasaan yaitu ke Koto Lowe Intuak. Perihal ini selanjutnya beliau sampaikan kepada Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung karena daerah Singingi, Subayang dan Kuantan adalah termasuk daerah Alam Poco dibawah kekuasaan Raja Pagaruyung.
Pada suatu waktu Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung ingin menikahkan anaknya PUTRI BUNGSU dengan MURAT Sutan Salinan (yang lahir di Sungai Tarap pada tahun 1401 M) dan merupakan kemenakannya sendiri yang juga cucu dari MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco. Dan Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung ini berkeinginan pernikahan tersebut dilaksanakan dihadapan MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco yang saat itu berada di Koto Lowe Intuak. Selanjutnya Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung memerintahkan MURAT Sutan Salinan dan SAID Datuk Rajo Dikandang (yang lahir di Sungai Tarap pada tahun 1408 M) untuk menjemput MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco ke Koto Lowe Intuak. Atas titah dari Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung, maka berangkatlah MURAT Sutan Salinan dan SAID Datuk Rajo Dikandang ke Koto Lowe Intuak di Singingi dengan mengikuti jalur yang dulu dilalui oleh MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco.
Sesampainya di Koto Lowe Intuak mereka langsung bertemu dengan MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco. Dan MURAT Sutan Salinan menyampaikan pesan dari Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung yaitu supaya MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco dapat pulang bersama mereka ke Sungai Tarap untuk menghadiri pernikahannya dengan PUTRI BUNGSU anak dari Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung. Setelah mendengar perkataan dan pesan dari Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung yang disampaikan oleh MURAT Sutan Salinan, MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco pun menjawab bahwa beliau tidak akan pulang ke Sungai Tarap – Pagaruyung dan beliau akan menetap di Koto Lowe Intuak untuk mengawasi, mengembangkan dan menjalankan roda pemerintahan yang telah dikuasainya. Setelah mendengar jawaban dari MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco, MURAT Sutan Salinan dan SAID Datuk Rajo Dikandang pun tidak mau kembali ke Sungai Tarap – Pagaruyung.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan, utusan yang dikirim ke Koto Lowe Intuak yang juga merupakan calon menantu Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung tak pernah kembali dan tak ada kabar berita. Karena keadaan tersebut, hingga pada suatu waktu akhirnya memaksa PUTRI BUNGSU untuk meninggalkan Sungai Tarap – Pagaruyung dan menyusul calon suaminya ke Koto Lowe Intuak di Singingi yang didampingi oleh saudaranya RAFIK Harimau Putih.
Sesampainya mereka di Kawasan Intuak (Belum memasuki Koto Lowe Intuak), terlebih dahulu mereka bersembunyi didalam sebuah gua yang berada didalam rimba (Yang kemudian diberi nama Rimba Bunian). Dan pada keesokan harinya ada seorang penduduk Koto Lowe Intuak yang pergi mencari damar di kawasan rimba tersebut, dan beliau melihat seorang perempuan dan kemudian bermaksud untuk menghampirinya, namun maksudnya itu terpaksa diurungkan karena perempuan tersebut ternyata didampingi oleh Harimau Putih. Karena ketakutan, beliau langsung pulang ke Koto Lowe Intuak dan memberitahukannya kepada MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco dan MURAT Sutan Salinan.
Setelah mendengan berita itu MURAT Sutan Salinan langsung berangkat menuju tempat seorang perempuan tersebut berada. Dan sesampainya disitu MURAT Sutan Salinan lantas memanggil-manggil perempuan tersebut. Setelah mendengar suara panggilan dan merasa mengenali suara tersebut, akhirnya PUTRI BUNGSU keluar dari dalam gua tempat persembunyiannya dan melihat bahwa orang yang memanggil-manggil tersebut adalah MURAT Sutan Salinan dan langsung menghampirinya, kemudian selanjutnya mereka bersama-sama menuju Koto Lowe Intuak.
Setelah sekian lama kepergian PUTRI BUNGSU dan RAFIK Harimau Putih ke Koto Lowe Intuak di Singingi pun tidak ada kabar beritanya, kemudian Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung memerintahkan LINDUNG BULAN dan suaminya RIDHO (Mamak / Paman dari PUTRI BUNGSU) didampingi oleh HUSNI Palindi Panjang untuk segera berangkat dan menyusul PUTRI BUNGSI ke Koto Lowe Intuak. Sesampainya di Koto Lowe Intuak, merekapun disambut oleh MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco dan MURAT Sutan Salinan, kemudian mereka bertemu dengan PUTRI BUNGSI dan akhirnya mereka berkumpul bersama di Koto Lowe Intuak. Kemudian MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco mengabarkan kepada Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung bahwa mereka yang datang dari Sungai Tarap – Pagaruyung telah berkumpul di Koto Lowe Intuak dan mereka telah sepakat untuk menjaga, mengawasi dan mengembangkan daerah yang telah mereka kuasai, dan mereka juga telah sepakat untuk menikahkan MURAT Sutan Salinan dengan PUTRI BUNGSU.
Pada tahun 1430 M MURAT Sutan Salinan menikah dengan PUTRI BUNGSU, dua tahun kemudian mereka dikarunia seorang anak laki-laki yang diberi nama DARMAN DOMO yang lahir di Koto Lowe Intuak pada tahun 1432, dan tiga tahun kemudian mereka kembali dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama PUTRI SALINI yang lahir di Koto Lowe Intuak pada tahun 1435. Dan begitu juga dengan pasangan RIDHO dan LINDUNG BULAN mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama EMBUN SARI dan seorang anak laki-laki yang diberi nama DAMHURI.
Kemudian DARMAN DOMO menikah dengan EMBUN SARI dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama SYAFI’I serta seorang anak perempuan yang diberi nama MAYANG SARI. Dan DAMHURI menikah dengan PUTRI SALINI yang kemudian dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama MUSLIM.
2. PENYERAHAN KEKUASAAN DAN TANAH ULAYAT SERTA PENGANGKATAN DATUK BANDARO ke - 1 DAN DATUAK MAJO ke -1
Disaat usia 84 tahun MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco telah tinggal dan berkuasa di Koto Lowe Intuak selama 36 tahun, dan saat itu pada tahun 1460 M Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung menyampaikan pesan berupa nasehat dan usulan kepada MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco, mengingat MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco pada saat itu sudah berumur lanjut, maka untuk segera mewariskan kekuasaannya kepada MURAT Sutan Salinan dan SAID Datuk Rajo Dikandang yang juga merupakan cucunya sendiri. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya tentang nasehat dan usulan dari Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung, maka MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco bersedia untuk menyerahkannya kekuasaannya kepada MURAT Sutan Salinan dan SAID Datuk Rajo Dikandang dan meminta kehadiran Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung ke Koto Lowe Intuak untuk menyaksikan dan meresmikan pernyerahan tampuk kekuasaan tersebut.
Setelah mendapat kabar dari MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco tersebut, maka Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung pun segera berangkat menuju Koto Lowe Intuak. Kedatangan Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung disambut oleh MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco, MURAT Sutan Salinan dan SAID Datuk Rajo Dikandang serta seluruh sanak keluarga yang berada di Koto Lowe Intuak. Dan kemudian merekapun melaksanakan upacara penyerahan tampuk pimpinan dan kekuasaan di Rantau Singingi dari MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco kepada MURAT Sutan Salinan. Dan pada kesempatan itu juga Datuk Bandaro Sungai Tarap – Pagaruyung mengangkat MURAT Sutan Salinan sebagai pemegang kekuasaan di Rantau Singingi dengan gelar “DATUK BANDARO” ke -1 dan kepada SAID Datuk Rajo Dikandang diangkat sebagai pimpinan di Koto Lowe Intuak dengan Gelar “DATUAK MAJO” ke – 1 yang artinya “Datuk Dirumah Rajo”. Dan seluruh wilayah kekuasaan dan ulayat MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco pun diserahkan kepada MURAT Sutan Salinan DATUK BANDARO ke – 1. Dan semenjak peistiwa inilah gelar MURAT berubah dari Sutan Salinan menjadi DATUK BANDARO ke -1, kemudian gelar SAID berubah dari Datuk Rajo Dikandang menjadi DATUK MAJO ke -1.
Setelah penyerahan tampuk pimpinan dan kekuasaan ini, akhirnya pada tahun 1484 M MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco meninggal dunia pada usia 108 tahun. Sepeninggalan MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco, Rantau Singingi yang dikuasai dan dipimpin oleh MURAT Datuk Bandaro ke - 1 dan dibantu oleh SAID Datuk Majo ke - 1 dalam mengurusi wilayah Koto Lowe Intuak.
3. TERBENTUKNYA KOTO TINGGI TASAM
Seiring waktu dan perkembangan zaman, penduduk Koto Lowe Intuak pun semakin ramai dan padat, oleh karena itu MURAT Datuk Bandaro ke - 1 dan dibantu oleh SAID Datuk Majo ke - 1 berinisiatif untuk membentuk suatu negeri (koto) untuk permukiman. Maka dicarilah suatu tempat yang baik dan tanahnya subur serta yang ada sungainya. Dan didapatilah tempat tersebut yaitu di sebelah hulu sungai Intuak, tempatnya agak tinggi dan sungainya bermuara ke sungai Tapi, yang kemudian dijadikanlah suatu koto yang diberi nama “Koto Tinggi Tasam”.
Untuk memimpin permukiman baru “Koto Tinggi Tasam” ini, maka oleh MURAT Datuk Bandaro ke - 1 kemudian mengangkat DARMAN DOMO (yang merupakan anaknya sendiri) yang telah menikah dengan EMBUN SARI anak dari LINDUNG BULAN atau kemenakan dari MURAT Datuk Bandaro ke - 1 itu sendiri. Setelah mendapat amanat dari ayahnya MURAT Datuk Bandaro ke - 1 dan dari SAID Datuk Majo ke - 1 yang merupakan mamak soko dari EMBUN SARI, maka berangkat dan pindahlah mereka bersama dengan anggota keluarga yang lain ke Koto Tinggi Tasam. Dan untuk menopang kehidupan masyarakat di Koto Tinggi Tasam ini, maka oleh MURAT Datuk Bandaro ke - 1 dan SAID Datuk Majo ke – 1 memberikan wilayah kekuasaan sungai Tasam kepada anaknya DARMAN DOMO dengan batas alam yaitu “Tanah yang berketelengan dan Air yang berkecucuran ke sungai Tasam adalah wilayah kekuasaan DARMAN DOMO” dibawah pimpinan MURAT Datuk Bandaro ke – 1.
4. SEJARAH MAKAM TIGO JURAI (PONDAM TIGO JURAI)
Pada tahun 1484 M MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco meninggal dunia dalam usia 108 tahun. Sebelum meninggal dunia, beliau berpesan kepada MURAT Datuk Bandaro ke - 1, “Apabila saya meninggal dunia, agar dapat diberitakan kepada Datuk Simpono Dipoco di Subayang dan Datuk Simpono Mulio di Kuantan, karena dahulu sebelum kami berpisah, kami telah berjanji bahwa barangsiapa yang meninggal dunia terlebih dahulu agar dapat diziarahi”. Mengingat pesan tersebut, maka MURAT Datuk Bandaro ke - 1 pun segera mengirimkan berita tersebut kepada Datuk Simpono Dipoco di Subayang dan Datuk Simpono Mulio di Kuantan.
Mendengar berita tersebut, maka berangkatlah masing-masing rombongan dari kedua daerah tersebut. Dari Kuantan, RABAH Datuk Simpono Mulio bersama dengan kemenakannya SULIM Datuk Jambang Mulio berangkat menuju Koto Lowe Intuak dengan terlebih dahulu menyusuri sungai Lembu dari hulu arah ke hilir, kemudian mereka singgah disuatu tempat Bukit Batu, dan mendirikan balai-balai untuk peristirahatan, dan keesokan harinta meraka melanjutkan perjalanan menuju Koto Lowe Intuak. Sedangkan dari Subayang, MURSID Datuk Simpono Dipoco didampingi oleh anaknya yang bernama MAS’UD pun berangkat menuju Koto Lowe Intuak dengan melalui jalur darat arah ke hulu sungai Tapi, dari hulu sungai Tapi kemudian mereka menyusuri ke arah hilir hingga mencapai muara sungai Tasam, kemudian menyusuri sungai Tasam tersebut kearah hulu dan terus menuju ke sungai Intuak, sesampai di sungai Intuak terus ke arah hilir sampai ke muaranya dan sampailah mereka ke Koto Lowe Intuak, disana merka disambut oleh MURAT Datuk Bandaro ke - 1, SAID Datuk Majo ke – 1 dan juga RABAH Datuk Simpono Mulio serta kemenakannya SULIM Datuk Jombang Mulio yang telah sampai terlebih dahulu.
Setelah semuanya berkumpul dan duduk bersama, maka diambillah kata sepakat bahwasanya mereka akan menambak makam / kuburan MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco. Sesuai dengan kata sepakat, maka MURAT Datuk Bandaro ke – 1 dari Singingi menambak bagian tengah kuburan, MURSID Datuk Simpono Dipoco dari Subayang menambak bagian kanan kuburan dan RABAH Datuk Simpono Mulio dari Kuantan menambak bagian kiri kuburan. Setalah acara penambakan selesai, selanjutnya MURAT Datuk Bandaro ke - 1 menanamkan tongkat SIMAMBU milik MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco diatas kuburan tersebut, karena ini adalah merupakan wasiat dari MAKMUM Datuk Simpono Rajo Dipoco. Penanaman tongkat SIMAMBU ini disaksikan oleh MURSID Datuk Simpono Dipoco dari Subayang dan RABAH Datuk Simpono Mulio dari Kuantan. Dan tongkat SIMAMBU itu hidup dan tumbuh hingga sekarang, dan inilah yang disebut dengan “MAKAM TIGO JURAI”.
Setelah acara penambakan kuburan tersebut selesai, MURSID Datuk Simpono Dipoco beserta anaknya MAS’UD dan RABAH Datuk Simpono Mulio beserta kemenakannya SULIM Datuk Jombang Mulio pun kembali ketempat asal mereka masing-masing.
MURSID Datuk Simpono Dipoco beserta anaknya MAS’UD, merekapun kembali ke Subayang dengan mengikuti jalur yang sama sewaktu kedatangan mereka. Dan dalam perjalanan pulang tersebut MAS’UD melihat suatu daerah yang memiliki dataran yang luas, tanahnya subur dan memiliki sungai yang jernih, sehingga dia berniat dan bermaksud pada suatu saat nanti akan pindah dan menetap di kawasan ini.
5. TERBENTUKNYA KAMPUNG GUNUNG BALAI
RABAH Datuk Simpono Mulio beserta kemenakannya SULIM Datuk Jambang Mulio kembali ke Kuantan dengan mengikuti jalur yang sama sewaktu kedatangan mereka, dan merekapun singgah dan beristirahat di Balai-balai pada bukit batu yang dibuatnya dulu. Keesokan harinya RABAH Datuk Simpono Mulio pun berangkat menuju Kuantan, sedangkan kemenakannya SULIM Datuk Jambang Mulio meminta izin untuk tinggal dan menetap di situ. Dan kemudian SULIM Datuk Jambang Mulio pun membuat suatu kampung disitu yang dinamakan dengan “GUNUNG BALAI”.
Penulis H. ZALIS Datuk Bandaro Urang Godang Datuk Nan Baduo Rantau Singingi



4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. ba'apo caro ambo nak bisa berkomunikasi lebih lanjut dengan penulis blog iko oi sanak yang banamo hamba tuhan,,????

    BalasHapus