Terlepas dari sikap antara setuju dan tidak setuju, tak
dapat disangkal bahwa Adat kemasyarakatan Antau Singingi adalah bersumber dari
pengemabangan adat Pagaruyung Minangkabau, yang dibawah oleh pemuka-pemuka adat
dilingkungan Kerajaan Pagaruyung dimasa lalu, dalam rangka mengembangkan
sayapnya kedaerah Antau, yang diperkirakan berlangsung mulai pada abad ketujuh
jauh sebelum masuknya pengaruh islam.
Perluasan pengaruh, diikuti dengan pengembangan adat budaya
serta perpindahan penduduk dari berbagai jurusan “Basa Ampek Balai” melalui
jalan yang berliku dan pada akhirnya menetap di Antau Sungai Ngiang, yang kemudian
disebut dengan Antau Singingi.
PENGERTIAN
RANTAU atau ANTAU
Menurut adat Pagaruyung, pengertian Rantau adalah meliputi
daerah diluar kerajaan, dengan istilah “Rantau Ba- Rajo”, Luhak Ba-Mang
Godang”. “Rantau Singingi” diartikan dengan suatu daerah kawasan pemukiman yang
berada disepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) dari Sungai Singingi. Sedangkan
dalam pengertian modern yang lebih luas dalam pengayaan (kaya) bahasa, “Rantau”
diartikan meliputi daerah kawasan atau Regional yang lebih luas, seperti Regional
Propinsi Riau disebut dengan “Rantau Riau”. Pada akhirnya timbul istilah
:”Merantau, Di Rantau, Anak Rantau” dan lain sebagainya.
HUBUNGAN
“BATALI DARAH”
Dari factual sejarah, hubungan Pagaruyung dengan Rantau
Singingi tidak hanya sebatas hubungan Adat, bahkan lebih dari itu adalah
hubungan “Batali Darah”. Hubungan tersebut dapat digambarkan pada Bagan
Struktur hubungan antara Pagaruyung dengan Rantau Bekas Pengaruhnya adalah
fakta nyata bahwa Keluarga Pagaruyung (Keluarga Asli) dari “Pewaris Daulat Raja
Alam Pagaruyung” (Nenek yang adik – beradik = Bersaudara) masih ada tinggal
berkembang biak di negeri ini (keluarga Saudara Kasar) Pulau Padang –
Muaralembu, Monumental lainnya adalah terdapat di negeri ini dua Makam
Pekuburan bersaudara Raja Alam Pagaruyung “Sultan yang dipersembahyang III,
Abdul Majid bersama saudaranya “Yang Dipertuan Gadis, Puti Reno Sari “yaitu
Ibunda dari “Puti Reno Sumpen “Raja Alam Pagaruyung berikutnya (lihat Buku
Tambo Alam Minang Kabau – halaman 367).”Raja Alam Pagaruyung, Abdul Majid”
meninggal dunia di Muaralembu pada tahun 1870, setelah berakhirnya babak
konflik Perang Paderi dan Belanda telah mendiami Pagaruyung Batu Sangkar
(Vander Capellen).
PENYUSUNAN
DAN NEGERI
Dari negeri-negeri yang sebelumnya berdiri sendiri dengan
komunitas asal kedatangan masing-masing para pemuka adat yang masih Hindu
Jahilliah, sekitar akhir abad ke-12 setelah agama Islam kian berkembang,
diperoleh suatu permufakatan untuk membentuk satu pemerintahan federasi adat
dengan penyusunan adat dan negeri secara demokrasi. Mengacu kepada kesatuan dan
persatuan Rantau Singingi yang berdaulat dan diaktualkan dalam satu bentuk
acara akbar, Helat Rantau Pertama dengan Simbol Pembantaian Kerbau Si –
Lenggang Tanduk (Sedepa Sebelah) dari Pagaruyung bertembat di Pulau Gelanggang
Muaralembu.
Dari momentum sejarah pertama inilah awal pertama dimulainya
penyusunan Adat Kemasyarakatan Rantau Singingi, dengan susunan pertama
Pemerintahan Datuk Nan Sembilan. Kemudian berobah menjadi Pemerintahan Datuk
Nan Baduo dan Datuk Nan Batujuh pada tingkat Pusat (Koto – Tanah Kojan) dan
pada tingkat Koto Terdapat Urang Godang Duo Sakato, Penghulu, Monti dan
Dubalang sebagai pelaksana pemerintahan. Urang Godang Duo Sakato adalah sebagai
pencermin dan perpanjangan tangan dari Datuk Nan Baduo di Tanah Kojan = Tanah
Kerajaan.
Status Koto-koto yang tadinya otonomi komunitas, berubah
menjadi bagian dari pemerintahan federasi Adat Rantau Singingi, dengan susunan
koto-koto dari hilir ke hulu masing-masing berikut pisakonya (peranannya)
menurut Adat meliputi:
Tanjung
Pauh Lantak Tunggal Bomban Bosi, Sungai Paku Pinggang Emas, Koto Baru Balai
Paranginan, Petai Kunci Loyang Pasak Malintang, Kebun Lado, Ekor Koto, Pulau
Padang Kapala Koto, Muaralembu Koto Tanah Kojan = Koto Tanah Kerajaan,
Pangkalan Indarung Pucuk Rantau Teropang Rantau). Logas tersusun sebelah Si
Lenggang Tanduk Pulau Pelanggang dan selesai penentuan ulayat, dengan status
Luhak dengan pimpinan seorang Penghulu Utama dengan sebutan Urang Godang dan
sehari-hari disebut Datuk Godang. Pada masa penjajahan Belanda disebut dengan
Khalifah Nan Tunggal. Sedangkan di Tanah Kojan disebut Khalifah Datuk Nan
baduo. Dan yang terakhir adalah Datuk Khalifah Muhammad Siri meninggal dunia
1948.
PENGERTIAN
SUKU DAN ORANG EMPAT JENIS SERTA PEMEKARAN SUKU
Mengacu kepada keaslian adat Pagaruyung, negeri di Tunggui
dengan Empat Suku yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Suku artinya Kaki.
Dimaksudkan dalam satu badan mempunyai empat kaki atau empat cabang, dua tangan
dan dua kaki. Satu kaki artinya seperempat dai satu kesatuan. Dalam bahasa
Melayu, suku artinya seperempat. Bila meminta satu kaki berarti meminta
seperempat bagian atau duapuluh lima persen.
Semula adat disusun negeri ditunggui adalah empat suku pada
kelompok besarnya. Kelompok itu adalah Piliang, Bendang, Payobadar (nama di
Pagaruyung) dan Melayu. Persyaratan untuk legalitas sebuah suku adalah memiliki
Orang Empat Jenis, masing-masing adalah : ada Penghulu, ada Monti, ada Dubalang
dan Malin Suku.
Dalam perjalanan perkembangan Adat, jumlah suku dalam satu
negeri di Rantau Singingi tidak lagi Empat Suku. Ada Lima, Ada Enam, dan lebih
dari itu. Namun bilamana mengacu kepada keaslian Adat pada dasarnya hanya Empat
Suku. Dan yang lebih mendasar lagi adalah dalam keberadaan satu suku itu harus
ada Penghulu sebagai pemegang semua kunci Adat, yang mengurus atau mewakili
keluar berbagai kepentingan Suku. Sedangkan Monti adalah hanya urusan kedalam
mengurus anak – Cucu – Kemenakan, dan dalam koridor adat tidak dapat mewakili
suku secara external tapi hanya sebatas internal suku. Dengan berbagai alasan
dan pertimbangan terjadi suku yang terpecah. Pada dasarnya tidak lagi ”kokoh
di-buek dan tidak lagi toguah di-jonji”, termasuk salah satu faktor pendukung
tuntuh dan rusaknya nilai kemurinian adat, termasuk kawin se suku dan lainnya
lagi. Konsekwensinya adalah Adat lah lapuk dek hujan, adat lah lokang dek
paneh”. Hal ini perlu disikapi oleh Musyawarah secara arif dan bijaksana.
Sedangkan
bagi suku yang latar belakangnya memang tidak ada Monti, tidak ada salahnya
menurut adat bilamana didudukkan seorang Monti, tergantung kepada sikap dan
kemauan suku yang bersangkutan, mengingat Cucu – Kemenakan semakin banyak
jumlahnya berkembang – biak.
POLA
STRUKTUR ADAT KEMASYARAKAT RANTAU SINGINGI
Pola struktur adat Kemasyarakatan Rantau Singingi
komprehensif meliputi berbagai aspek yang berhubungan dengan Adat dan Budaya
Rantau Singinig, namun dengan keterbatasan ruang waktu, penulis hanya akan
menyajikan sebagai beberapa permasalahan dan hal yang dianggap penting sesuai
tuntutan dinamika masyarakat Cucu – Kemenakan di Serantau ini, antara lain
meliputi :
POLA
STRUKTUR ADAT BERSENDIKAN SYARAK
Bahwa adat adalah merupakan bagian dari nama hukum yang
senantiasa tidak terlepas dari sendi kehidupan masyarakat dimanapun berada,
sekalipun aturan dan caranya yang berbeda. Semua orang pasti akan merasakan
sakit dan sakit sekali bilamana dikatakan tidak beradat.
Justru
itu adat mutlak diperlukan dalam mengatur tatanan kehidupan manusia yang
meliputi komunikasi, tata pergaulan, perilaku, hubungan kerja, bubungan sosial
dan lainnya.
Perlu
dipahami bahwa adat yang dipakai ditengah masyarakat kita merupakan waris dari
pada Rasulullah SAW, sangat identik dengan Adat Pagaruyung Minangkabau yang matrilineal
berazaskan ke-Ibuan, yang dianut oleh Negarawan Datuk Ketumenggungan dan Datuk
Perpatih.
Karena
merupakan waris dari pada Nabi, maka adalah Adat yang bersendikan Syarak yang
bersumber dari Kitab Allah SWT Al-Qur’anul Karim. Jadi apa yang diikatkan
agama, maka itulah yang dipakai oleh adat, yang disebut ”Syarak Mandaki, Adat
Manurun”.
Maksudnya
adalah, bahwa agama (Syarak) datang berkembang menertibkan nilai adat sesuai
dengan ajaran agama dan Sunah Rasul. Adat mengikuti serta menyesuaikan dengan
perkembangan ajaran agama untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal
yang sepanjang tidak diatur oleh agama, maka itu bukanlah adat yang bersendikan
Syarak dan pasti tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Tetapi adalah
adat menurut selerah sendiri dan tidak ada disiplin acuannya.
Selengkapnya
pola struktur adat bersendikan Syarak itu adalah sebagai berikut :
”
Waris dari pada Nabi ”
”
Syarak Menyato, Adat memakai ”
”
Adat dipakai, Limbago di tuang ”
”
Gelar diwariskan, pisoko di tolong ”
”
Ba – Surau, Ba – Masjid, Ba – Balai, Ba – Gonjong ”.
”
Bajalan Lurus, Bakato Bonar, Menghukum Adil ”
”
Waris dari pada Nabi ” mengandung arti bahwa Nabi Muhammad Allah mewariskan
melalui Al-Qur’an dan Hadist berbagai segi tata kehidupan dan berbagai solusi
dari permasalah ummat manusia termasuk masalah adat. Manusia dihimbau supaya
berjalan diatas jalan adat berdasarkan agama.
”
Syarak Menyato, Adat memakai ”artinya bahwa berdasarkan Al-Qur`an dan Hadist
Nabi telah bersabda agar umat manusia menta’ati ajaran agama dalam tata
kehidupan sehari-hari dan dijalankan oleh masyarakat sesuai menurut
perlaksanaan syari’at Islam guna memperlancar dan meperhalus jalannya adat
untuk senantiasa rukun – damai.
”
Adat dipakai, Limbago di tuang ” berarti bilamana telah sampai masanya sesuatu
gelar adat dilakukan oleh genarasi, guna menghindarkan terjadinya prinsip
otoriter dan status Quo. Diharapkan perkaderan dan ali generasi dapat berjalan
secara wajar.
Karena
bagaimanapun jabatan pemangku adat tidak harus seumur hidup. ”Rantau Jauh Indak
ta-ulangi, rantau dokek indak ta-kamano, zonjo tompek ba-malam, ponek tompek
bonti”. Apalagi ”Mamak bermasalah”. Jadi perlu membaca sikon dilingkungannya.
”
Gelar diwariskan, pisoko di tolong ” maksudnya bagi penyandang pisoko supaya ada
pembagian kekuasaan dan pelimpahan wewenang, berbagi rasa dan perasaan terhadap
cucu kemenakan. Tidak hanya berjalan sendiri, karena ada hal-hal yang patut
diketahui dan dinikmati oleh cucu kemanakan. Perlu ada prinsip transparan
karena pisoko adalah milik bersama dan laba rugi bersama.
Peghulu
adat, harus berkewajiban dan bertanggung jawab atas keberadaan dan keamanan
Pusaka (Pisoko) Adat sukunya, agar tidak hilang dan di rusakatau tidak dirubah
pihak lain, sebagai mana dalam salah satu ”Keberatan Penghulu” yaitu: ”Jalan
jangan dirambah urang lalu, Cupak jangan dirubah urang Panggalaeh”, mengandung
makna yang luas, dan tidak sebaliknya ”Pisoko digolong dek Ninik mamak”.
”Adat
dipakai” bermakna bahwa tatakrama harus berjalan menurut aturan adat dan agama
serta ditaati oleh rakyat cucu kemenakan.
”Limbago
dituang” berarti kewajiban-kewajiban menurut adat dan pemerintahan harus dapat
dipenuhi oleh rakyat cucu kemenakan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.
”
Ba – Surau, Ba – Masjid”, mengandung arti bahwa dalam masyarakat adat itu harus
terdapat adanya cikal bakal dan wadah pembinaan agama (Syarak) mulai pada
tingkat bawah untuk melahirkan generasi beradat, beriman dan bertaqwa. Karena
adat bersendikan Syarak, yang berarti semua hal ihwal yang berhubungan dengan
aturan-aturan pelaksanaan agama harus dipelajari dan dimiliki oleh masyarakat
adat, dan para penyandang adat.
”Ba-Masjid”
artinya disatu negeri adat itu harus ada terdapat wadah pembinaan iman dan
perilaku yang lebih luas dan besar setelah ditingkat Surau, dakwah berbagai
kepentingan dan hubungan sosial masyarakat.
”Ba
– Balai, Ba – Gonjong”, artinya dalam masyarakat adat harus terdapat suatu
wadah bagi proses musyawarah-mufakat terhadap berbagai permasalahan masyarakat
dan negeri serta terdapat proses bagi pengambilan keputusan tertinggi untuk
dipedomani dan dilaksanakan oleh rakyat banyak seperti tingkatan musyawarah
yang sedang diselenggarakan sekarang ini di Balai Bagonjong.
”Balai”
sama artinya dengan proses musyawarah-mufakat. ”Gonjong” sama artinya dengan
keputusan tertinggi (Quorum).
Inilah
gambaran umum atau pola struktur secara lengkap adat bersendikan syarak sebagai
acuan bagi generasi penerus adat. Dan ini pulalah yang dikatakan ”Adat Lamo
Pisoko Usang”,” Indak Lapuk dek ujan, indak lokang dek paneh”. Tetap eksis dan
relevan sepanjang masa sesuai situasi dan kondisi perkembangan zaman, karena
dia merupakan ”Waris dari pada Nabi Muhammad Rasulullah SAW”.
Walaupun
dasar-dasar aturan ini sudah tersusun lama, namun tetap serasi sepanjang masa
dengan berbagai kebutuhan masyarakat yang sedang dan makin berkembang.
Bilamana
terdapat hal-hal selain dari corak dan bentuk yang demikian perlu buang dan
disingkirkan, menjadi kewajiban kita semua setiap unsur dan komponen yang ada
dimasyarakat.
E-mail
: Erick.Koto@yahoo.com
http://koto86.blogspot.com/p/adat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar