Senin, 21 Desember 2015

Asal usul suku Kuti Rokan Hulu

Menurut hikayatnya, asal usul Suku Kuti terdapat dua persi. Dalam hikayat pertama dikisahkan kalau negeri asal Suku Kuti adalah Batipuh yang dipimpin oleh seorang Penghulu Adat (Pucuk Suku) bergelar Tuan Godang. Beliau adalah salah satu yang ada di balai Kerajaan Pagaruyung di abad ke IX.

Pada suatu ketika, Suku Kuti berpindah dan Batipuh ke Negeri Bonjol. Selanjutnya terjadi lagi perpindahan ke Negeri Rao. Dari Rao, dipimpin oleh tiga orang bersaudara beserta beberapa orang Kaum Soko (anak kemenakan) berangkat ke Tambusai melalui Sungai Siasik (Rokan IV Koto). Di dalam perjalanan mereka singgah di Permain (Tapanuli Selatan) beberapa bulan. Adapun anggota rombongan tersebut adalah sebagai berikut.


1.    Sutan Mangku Alam
2.    Sutan Batuah
3.    Faqih Maulana

Selanjutnya Sutan Mangku Alam dengan adik kandungnya bernama Faqih Maulana menetap di Tambusai. Sementara itu, Sultan Batuah beserta beberapa orang anak kemenakannya menuju ke sebelah timur Tambusai dan membuka lahan pemukiman baru di pinggir Sungai Batang Lubuh (Sungai Rokan kanan), tepatnya bernama Pasie Siahat.


Pasie Siahat terletak kurang lebih satu kilometer di hilir Lampung Surau Tinggi sekarang. Beberapa tahun kemudian, Sultan Batuah diikuti oleh kaum kerabatnya dari Rao yang terbagi dalam dua rombongan. Satu rombongan menuju dan menempati hulu Sungai Kumu atau yang lebih popular disebut dengan Kumu Jua. Sedangkan rombongan yang satu lagi menempati wilayah Sungai Somaong (sekarang adalah wilayah Batang Samo Kecamatan Rambah Hilir).


Dan tiga tempat inilah secara evolusi Suku Kuti berkembang ke seluruh penjuru Luhak Rambah hingga sekarang. Hampir 400 tahun yang lalu di negeri Rambah telah dihuni manusia yang terdiri dari masyarakat kecil dan perkembangan sampai ke Luhak Kepenuhan yang tergolong dari anak cucu Sutan Batuah.
Adapun nama-nama pemimpin rombongan pertama dari anak cucu Sutan Batuah adalah sebagai berikut.

1.    Majo Kaha
2.    Panglima Bansu
3.    Sotie Poloan (Sotie Pahiawan)

Ketiga orang bergelar ini menuju Kampung Terusan dan di ikuti beberapa Kaum Soko dan anak kemenakan. Mereka wafat di Kampung Sibelentung, yakni sebuah kampong yang terletak lebih kurang lima kilometer dari Kampung Terusan.


Adapun nama-nama pemimpin rombongan kedua sebagai berikut.
1.    Olang Bobega
2.    Gompo Cino

Kedua pemimpin ini menempati Pasie Pinang dan wafat di sana. Datuk yang bergelar Olang Bobega mempunyai kehebatan yang luar biasa di dalam Dobalang Raja. Orangnya kecil dan pendek, tingginya hanya tiga hasta.


Sementara itu, rombongan ketiga diberi penghargaan oleh Sutan Batuah, yaitu dua orang memimpin satu luhak, tetapi karena beliau masih mampu memimpin Luhak Rambah, maka dua orang tersebut diberi kekuasaan penuh di Batang Sosa ke hilir.


Adapun nama kedua orang yang diberi penghargaan oleh Sutan Batuah tersebut yaitu:
1.    Golet
2.    Maksah


Merekalah orang pertama menempati Batang Sosa, lalu beberapa hari kemudian menyusul anak kemenakan dari Kaum Soko hingga terbangun pemukiman baru di tempat itu. Kampung tersebut bernama Kampung Sionah karena dua pemimpin ini bersikap rendah hati berkat petuah dari Sutan Batuah di Pasie Siahat dan dihargai oleh beberapa Kaum Soko.


Di kampung tersebut, anak kemenakan Kaum Soko kemudian berladang, berdamar, mencari rotan, menangkap ikan, dan sebagainya. Setelah berpuluh-puluh tahun, anak kemenakan tersebut kemudian pindah ke Kampung Tebih atau sekarang disebut juga dengan Pekan Tebih, dipimpin oleh Datuk Golet yang tinggal di Sionah. Kemudian pindah ke Kampung Longong dipimpin oleh Datuk Maksah dan diikuti oleh adik kandungnya dengan gelar Intan. Sebagiannya, anak kemenakan dan Kaum Soko pindah ke Teluk Awa dipimpin oleh Majo Kaha dan beberapa orang anak kemenakan yang cerdik dan pandai di dalam kaum.
Beberapa lama kemudian, yang tinggal di Teluk Awa berladang menuju Tanjung Alam dan sebagian mereka menetap di sana dipimpin oleh Mamak Baser dan Mamak Para. Sampai saat ini anak kemenakan tersebut masih banyak bermukim di sana.


Sebagian mereka dari Teluk Awa tersebut pergi menuju ke Kampung Panjang dipimpin oleh dua orang pemimpin, yakni sebagai berikut.


1.    Majo Kaha
2.    Latah


Kemudian dikomandokan oleh Majo Kaha, Kaum Soko atau anak kemenakan dari Kampung Teluk Awa ditempatkan di mudik kampung dengan Bundo Kandung (Thu Sri Adih). Kaum Sko atau anak kemenakan dari Kampung Longong diberi tempat sebelah hilir Kampung Panjang dengan Bundo Kandung (Ibu Sri Intan). Sedangkan adik kandung Majo Kaha ditempatkan di tengah kampung (di antara Bundo Kandung) beliau yang diberi nama Uwak Opuk.


Adapun nama lengkap Majo Kaha adalah Doni, adik kandung dari Golet yang wafat di Pekan Tebih. Sekarang, anak cucu beliau, termasuk dari Kampung Teluk Awa bermukim di Koto Tengah atau Kota Tengah (Gelugur sekarang). Hingga kini sudah banyak yang berpindah ke seluruh desa dan dusun sekitar karena perkembangan penduduknya.


Adapun pecahan dari Kampung Panjang, anak cucu Doni (Mojo Kaha) tersebut, bermukim di Kampung Pasar Kesra pada kun 1975, dipimpin oleh M. Rasyid. J (Majo Mudo dan beberapa anak kemenakan atau kaum Soko). Pada tahun 982, ada yang pindah ke Desa Muara Jaya dan desa lain sekitarnya di bawah pimpinan Majo Kaha. Adapun pimpinan dari Datuk Maksah dipimmpin oleh Majo Nando (Pokan) dengan Mamak Majo Sotie Mudu Su’a. Pada saat ini Kampung Panjang dipimpin oleh Majo Sotei Mudo (M. Naser/Kh Sufi).


Sedangkan Kampung Panjang, Kesra, Sei Emas, dan Muara Jaya dipimpin oleh M. Rasyid. J (Majo Mudo) hingga saat ini. Ia mendapat kepercayaan untuk memimpin anak kemenakan Kaum Soko sejak berumur 26 tahun hingga saat ini telah berusia 64 tahun. Bahkan pada tahun 2006 ia masih mampu memimpin, dan begitulah lamanya masa jabatan adat.


Dari kisah ini kelihatan bagi kita bahwa Suku Kuti berasal dari Alam Minangkabau, menuju Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Begitu juga sudah jelas pemahaman bagi kita tentang sosok pejuang-pejuang adat, baik di Luhak Rambah, Tambusai, maupun di Luhak Kepenuhan.


Hal ini merupakan satu anugerah bagi kita sebagaimana yang ditemukan di dalam buku sejarah Cino Mato, jilid I, II dan III yang ada pada Datuk Rangkayo Sutan (Abdul Aziz Noer), disusun oleh beberapa kawan serta disetujui oleh Pucuk Suku Kuti saat ini, Samsul Kamar yang bergelar Majo Nando, sebagai pucuk pimpinan keenam Luhak Kepenuhan.


Adapun hikayat kedua tentang asal usul Suku Kuti dimulai dari dalam sebuah riwayat Sultan Zulkarnain, Raja Istambul pada waktu itu, sedang mempersiapkan sebuah Bahtoro atau dalam bahasa Indonesianya disebut Bahtera dalam ukuran sangat besar dan konstruksi yang sangat kuat. Sultan memerintahkan seribu orang tenaga ahli dari berbagai suku bangsa di dunia, untuk bekerja setiap hari dengan upah yang mahal. Tenaga ahli tersebut bekerja dengan sangat hati-hati dan berhasil menyelesaikan Bahtera tersebut dalam waktu sepuluh tahun. Seiring dengan hal tersebut, Baginda Sultan membuat surat dan mengirimkannya ke beberapa raja. Baik di dalam maupun di luar negeri, menyatakan bahwa beliau bermaksud akan melakukan sebuah perjalanan jarak jauh. Tujuan dan perjalanan jauh itu adalah sebuah tempat bernama Ostrali atau dikenal dengan nama Benua Australia.


Tersebarnya berita mi sangat menggemparkan khalayak, terutama para rakyat Sang Sultan itu sendiri. Rakyatnya sangat mencintai Baginda Sultan sehingga mereka berduyun-duyunlah bergabung tua dan muda, menemui Baginda Sultan. Arkian Baginda Sultan menjelaskan kepada rakyatnya bahwa ada sebuah berita yang didengar Baginda, yakni adanya sebuah tempat yang sangat bagus, strategis, dan cocok dijadikan lokasi pengembangan usaha pertanian dan perternakan. Oleh sebab itu, Beliau bermaksud ingin melihat tempat tersebut, termasuk sebagai salah sa tu agenda perluasan kekuasaan kerajaan.


Setelah bahtera raksasa tersebut selesai, maka Baginda Sulta memerintahkan para Hulubalang agar mengumpulkan brapa jenis binatang, mulai dari tungau yang paling kecil hingga gajah yang paling besar, untuk dimasukkan ke dalam bahtera bersama makanannya. Selain hewan, para Hulubalang juga mengumpulkan para rakyat berikut pembesar negeri untuk ikut bersama Sang Sultan.


Ketika semua peralatan telah dipersiapkan, Sang Baginda Sultan bersama permaisuri, dayang-dayang, inang-inang, para wazir, perdana menteri, ahli nujum, para Panglima Hulubalang Serta semua isi istana kerajaan pun dihimpun mengiring Sultan sama- sama memasuki bahtera raksasa yang diberi nama oleh Baginda Sultan sebagai Balai Berponing.
sumber: http://luhakkepenuhan.blogspot.com/2013/07/suku-kuti.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar