Oleh : Marleily Rahim A.
Dari penelitian sistem pemerintahan adat di bekas Kerajaan
Kuantan dan Kampar Kiri diketahui bahwa kedua daerah tersebut dulu mempunyai
sistem pemerintahan adat yang sama karena latar belakang sejarah yang hampir
sama. Kedua daerah ini berbatasan dengan daerah Minangkabau. Semua pranata
yang tersusun dalam organisasi adat tersebut menunjukkan kekuasaan otokrasi
raja yang dibatasi oleh kekuasaan kaum elite yang turun-temurun. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa pranata adat dan agama masih berperan dalam masyarakat
pedesaan di Melayu. Untuk memperlancar pembangunan, sebaiknya semua pembaharuan
yang diperkenalkan dicari rujukannya pada pranata adat dan agama, agar
partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan lebih meningkat.
1. Pendahuluan
Rantau
Kuantan merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri Hulu dan terletak di
sepanjang batang Kuantan (Sungai Indragiri bagian hulu). Menurut sejarah,
daerah ini dikenal dengan sebutan Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua”, artinya negeri
tempat perantauan yang mempunyai sembilan belas koto (negeri) atau dua
puluh kurang satu koto. Daerah Kuantan pada bagian barat (hulu)
berbatasan dengan Provinsi Sumatera barat, pada bagian timur (hilir) berbatasan
dengan Desa Batu Sawa, pada bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi,
dan bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Kampar.
2. Latar Belakang Sejarah
Tradisi
lisan yang diceritakan turun-temurun menyatakan bahwa nenek moyang penduduk
Rantau Kuatan berasal dari daerah Minangkabau. Salah satu sumber mengatakan
bahwa dua orang utusan dari Pagaruyung bernama Po Patih atau Datuk Patih dan
Po Gagah Kemanggungan atau Datuk Ketemanggungan datang ke Kuantan untuk
mendirikan negeri. Sebagian sumber lain mengatakan bahwa sebelum datuk-datuk
tersebut datang, di sepanjang sungai itu juga sudah ada beberapa negeri. Daerah
ini pernah berada di bawah pengaruh Pagaruyung. Negeri yang sudah terkenal
serta ramai penduduknya itu dibagi menjadi beberapa distrik atau kesatuan wilayah
dalam bentuk federasi. Kesatuan-kesatuan wilayah tersebut dinamai menurut
jumlah koto. Pada setiap kesatuan (koto) ditempatkan kepala
pemerintahan yang bergelar datuk sebagai wakil pemerintahan (Schwarts, 1893).
Negeri
atau koto tertua yang ditempati nenek moyang mereka yang merantau ke
daerah ini adalah Inuman. Setiap dua atau tiga tahun, Raja Pagaruyung
datang berkunjung ke daerah tersebut. Akan tetapi, setelah kekuasaan Raja
Pagaruyung semakin lemah, apalagi setelah Pagaruyung jatuh di bawah kekuasaan
Belanda sesudah Perang Padri, sering terjadi sengketa antarkesatuan (koto).
Salah seorang keturunan Raja Pagaruyung terakhir lari ke Kuantan dan atas
kesepakatan para datuk, pada tahun 1883 putra Sultan Muningsyah diangkat
menjadi raja di daerah ini. Pengangkatannya sebagai sultan dianggap sah setelah
mengikuti upacara arak-arakan dari Seluka sampai ke Cerenti. Sejak itu, sultan
diberi gelar Yang Dipertuan Putih Sultan Abdullah. Pada mulanya,
raja berkedudukan di Cerenti, kemudian pindah ke Basrah. Kerajaan inilah yang dikenal sebagai
Kerajaan Kuantan. Raja Kuantan pertama yang menandatangani Korte Verklaring
dengan Belanda adalah Yang Dipertuan Putih Sultan Hasan, yaitu pada tahun
1905. Pada tahun 1907, ia digantikan oleh Sultan Begab. Raja terakhir pengganti
Sultan Begab bernama Raja Ismail. Sejak tahun 1905, semua raja yang dinobatkan
harus atas persetujuan dan pengukuhan dari pemerintah Belanda.
Seperti
halnya penduduk Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua, penduduk Kampar Kiri juga
percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Setelah jumlah
penduduk semakin berkembang dan pemukiman semakin luas, mereka memutuskan
untuk mempunyai raja sendiri. Atas kesepakatan para datuk di daerah Kampar
Kiri, dua orang datuk diutus ke Pagaruyung untuk meminta salah seorang putra
raja untuk menjadi raja di Kampar Kiri. Kerajaan Kampar Kiri yang beribu kota
di Gunung Sahilan juga disebut Kerajaan Gunung Sahilan. Tidak ada sumber yang menyebutkan
kapan pertama kali Kampar Kiri mempunyai raja. Berdasarkan lambang kerajaan,
baru jelas bahwa Kerajaan Kampar Kiri/Kerajaan Gunung Sahilan lebih tua dari
Kerajaan Kuantan. Peninggalan sejarah Kerajaan Kuantan relatif sedikit bila
dibandingkan dengan Kerajaan Gunung Sahilan. Peninggalan sejarah yang masih
dapat disaksikan di Gunung Sahilan antara lain adalah bekas istana raja
(meskipun tidak asli lagi), benda-benda kerajaan, tambo adat yang
ditulis oleh wazir terakhir dan dicetak pada tahun 1939. Tambo
yang lain belum pernah dibuka, karena oleh ahli warisnya dipandang sangat
keramat. Tambo tersebut ditulis dengan huruf Arab-Melayu dan berbahasa
Minangkabau lama.
Bersamaan
dengan Kerajaan Kuantan, Kerajaan Kampar Kiri (Kerajaan Gunung Sahilan) yang
waktu itu berada di bawah kekuasaan Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan
Hitam pada tahun 1905 menandatangani Korte Verklaring dengan
pemerintah Belanda. Pada tahun 1930, Yang Maha Mulia Tengku Sulung yang
bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah
yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti dinobatkan menjadi raja dengan
mengadakan upacara besar-besaran (lihat Lutfi, “Sejarah Riau”).
3. Latar Belakang Budaya
Latar
belakang budaya kedua daerah tersebut akan diuraikan secara singkat menurut
unsur-unsur kebudayaan universal.
Bahasa.
Bahasa yang dipakai di kedua daerah tersebut adalah bahasa Melayu dengan dialek
khas yang mirip dengan bahasa Minangkabau. Menurut Koentjaraningrat (1972),
bahasa Minangkabau dapat dikatakan sebagai satu jenis bahasa sendiri dan dapat
dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Melayu. Hal yang paling
menonjol pada bahasanya adalah kesenangan mereka menggunakan kata-kata arif
serta pepatah-petitih. Kata-kata kiasan pada umumnya berpedoman pada alam
sekitarnya. Ketinggian martabat seseorang juga dapat ditandai dari kemahirannya
menggunakan kata-kata arif dan kiasan. Mereka tidak mengenal adanya perbedaan
bahasa yang menunjukkan stratifikasi sosial dalam masyarakat.
Sistem Teknologi. Sistem teknologi yang digunakan dalam memenuhi keperluan
hidup di Rantau Kuantan dan Kampar Kiri pada umumnya masih tradisional, yaitu
teknologi pertanian tradisional. Makanan utama mereka adalah beras.
Padi sebagian besar masih ditanam di ladang, terutama di daerah hilir.
Alat-alat yang dipergunakan untuk menanam padi masih sederhana. Pada daerah
hulu sudah dikenal bajak yang ditarik oleh binatang (kerbau). Alat-alat lainnya
berupa cangkul, beliung, parang, sabit, tajak, tugal, tuai, kembut,
tikar, lesung, gendang, dan nyiru sebagai penampi.
Untuk menangkap ikan, penduduk
menggunakan alat-alat seperti jala, tangguk, lukah, pancing, dan
sebagainya. Kadang-kadang
mereka menggunakan sampan untuk menangkap ikan di sungai.
Rumah
penduduk bertiang dan terbuat dari kayu. Dahulu di daerah ini terdapat rumah
adat seperti di Minangkabau, namun sekarang sudah sangat langka. Rumah adat
seperti Balairung dan Rumah Gadang memakai rumah adat Koto Piliang (Datuk Ketemanggungan).
Ciri rumah adat Koto Piliang adalah lantainya tidak sama tinggi, berbeda
dengan rumah adat Bodi Caniago (Datuk Perpatih) yang lantai rumahnya sama tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa adat Bodi Caniago lebih demokratis daripada adat Koto
Piliang.
Mata Pencaharian. Mata
pencaharian masyarakatnya adalah bertani, terutama berladang padi ladang
kasang). Mencari ikan di sungai merupakan mata pencaharian tambahan,
begitu juga mencari hasil hutan. Usaha ini dilakukan sambil menunggu panen
atau menunggu musim tanam berikutnya.
Organisasi Sosial. Organisasi
sosial di Rantau Kuantan dan Kampar Kiri memakai sistem kekerabatan yang sama
dengan sistem kekerabatan di Minangkabau. Garis keturunan dihitung melalui
kerabat ibu (matrilinial). Pernikahan sesama anggota suku dilarang, karena menurut
keyakinan mereka anggota satu suku mempunyai pertalian darah. Mereka
berkeyakinan bahwa pernikahan yang ideal adalah kalau seseorang menikah dengan
anak mamaknya (kemenakan ayah). Setelah pernikahan berlangsung,
pengantin lelaki menetap di rumah pengantin perempuan matrilokal).
Sistem Pengetahuan. Rantan
Kuantan dan Kampar Kiri mempunyai latar belakang kebudayaan yang sama, sehingga
penduduknya hampir mempunyai pengetahuan yang sama mengenai alam, flora, dan
fauna. Keadaan geografisnya juga tidak jauh berbeda. Mereka juga mempunyai
pengetahuan tentang alam, terutama yang berkaitan dengan musim, baik yang ada
hubungannya dengan pertanian dan perikanan maupun yang berhubungan dengan mencari
hasil hutan.
Pengetahuan tentang obat-obatan
tradisional dari kedua daerah itu juga sama, yaitu penggunaan beberapa jenis
tumbuh-tumbuhan sebagai ramuan obat, misalnya obat untuk menyembuhkan penyakit
demam yang berupa daun sitawar, sedingin, kumapai, cekun, kunyit polai, dan
jerangau. Di samping itu, juga digunakan berbagai jenis jeruk, akar kayu,
bunga-bungaan, kelapa muda, pinang, dan sebagainya. Untuk penangkal atau
jimat kadang-kadang mereka menggunakan tahi besi (sisa-sisa besi) dan benang
warna/pancawarna. Benda-benda itu baru dapat dijadikan obat dan mempunyai
khasiat menyembuhkan penyakit setelah dimantrai dukun.
Kesenian. Di daerah
Rantau Kuantan terdapat berbagai macam kesenian seperti seni musik, seni suara,
seni tari, seni ukir, dan sebagainya. Selain Randai, seni yang lebih
terkemuka di sini adalah Rarak Godang, Kayat,
Zikir, dan Kaba. Salah satu kebudayaan tradisional yang tumbuh dan
berlangsung sampai sekarang adalah Pacu jalur. Randai merupakan perpaduan antara Kaba, lagu, tari, dan sandiwara.
Di daerah Kampar Kiri, seni Randai
tidak begitu populer. Pencak silat terdapat di Rantau Kuantan maupun
Kampar Kiri. Alat-alat musik di kedua daerah itu hampir sama, seperti calempong,
ogung gong), dan gendang. Seni sastra yang berkembang antara lain
pantun, pepatah, dan Kayat.
Sistem Religi. Hampir semua
penduduk Rantau Kuantan dan Kampar Kiri merupakan penganut agama Islam. Dalam
kehidupan sehari-hari, agama dan adat istiadat sudah menyatu, sebagaimana
tercermin dalam ungkapan yang berbunyi “Adat basandi syarak, syarak basandi
kitab Allah”. Meskipun demikian, kepercayaan adanya makhluk-makhluk halus
dan pemujaannya masih terlihat dalam kehidupan masyarakat. Kadang-kadang mereka
tidak menyadari bahwa pemujaan tidak dibolehkan oleh agama Islam.
Adanya kepercayaan tersebut dapat
dilihat pada upacara-upacara tradisional seperti upacara semah pada
waktu membuka hutan, menanam padi, menangkap ikan di lubuk secara beramai-ramai,
mendirikan rumah baru, dan membuat sampan/jalur. Tokoh yang berperan dalam
upacara tersebut adalah dukun. Upacara semah disertai dengan memotong
binatang (ayam, kambing, dan sebagainya) dan diakhiri dengan doa selamat
oleh seorang ulama. Salah satu cara menolak bala/penyakit/wabah adalah dengan
upacara menghanyutkan lancang atau membuang ancak yang berisi sesaji
ke sungai. Dalam pengobatan, dikenal cara-cara Bulian yang dipimpin
oleh Gumantan.
4. Sistem Pemerintahan Adat
Sistem pemerintahan adat mencakup semua
pranata yang berhubungan dengan susunan organisasi, tata kerja, formasi
aparatur, tugas/kewajiban, wewenang dan tanggung jawab, serta hubungan kerja
dari badan-badan yang ada.
Kedudukan
tertinggi dalam pemerintahan adat adalah sultan. Sebagai raja,
ia adalah penguasa tertinggi di bidang politik, adat, agama, ekonomi, budaya,
dan lain sebagainya. Kedudukan raja didapatkan karena keturunan. Akan tetapi
tidak berarti bahwa semua keturunan raja dapat menjadi raja/sultan.
Kedudukan raja baru sah bila sudah mendapat pengesahan (legitimasi) yang sesuai
dengan suatu prosedur yang telah ditetapkan oleh adat, antara lain melalui
upacara penobatan. Seseorang yang telah dinobatkan menjadi raja berarti telah
memenuhi syarat-syarat kepemimpinan menurut
adat, seperti telah dewasa, berakal budi, adil dan bijaksana, berilmu
(tahu akan undang-undang, hukum adat dan pusaka, serta paham akan agama),
berwibawa, terampil dalam ilmu bela diri dan ilmu kebatinan, dan ahli perang.
Sebenarnya syarat kepemimpinan itu hampir semuanya merupakan syarat bagi pemimpin
adat lainnya. Perbedaannya, kalau raja diresmikan dengan upacara penobatan,
sedangkan pemimpin-pemimpin adat lainnya dengan upacara pengangkatan dan
peresmian.
Sesudah
dinobatkan, raja mempunyai wewenang untuk memimpin secara resmi. Namun
wewenang raja, baik raja di Kerajaan Kuantan maupun di Kerajaan Kampar Kiri,
tidak penuh (otokrasi). Dalam mengambil keputusan maupun melaksanakannya, ia
harus mendapat persetujuan dari Dewan Menteri. Di Kerajaan Kuantan, Dewan
Menteri adalah Kerapatan Majelis Urang Godang, sedangkan di Kerajaan Kampar
Kiri lembaga itu bernama Kerapatan Khalifah.
Dalam
melaksanakan pemerintahan, sultan/raja dibantu oleh seorang khadi
untuk bidang agama. Di Kampar Kiri, raja dibantu oleh seorang saudagar yang
mengurus bidang perdagangan atau ekonomi. Khalifah di Kerajaan Kampar Kiri
dan Urang Godang di Kuantan tidak lain adalah wakil raja di daerah, seperti
camat atau bupati sekarang. Seperti halnya raja, Urang Godang dan Khalifah
tidak berhak mencampuri urusan dalam nagari ataupun koto yang
berada di bawah pengawasannya secara langsung tanpa persetujuan Dewan Menteri.
Raja dan Urang GodangKhalifah tidak lain hanya sebagai badan pengawas,
pengatur, atau koordinator terhadap daerah yang ada di bawah kekuasaannya.
Selain
itu, Khalifah Kampar Kiri juga bertugas membantu raja dalam menyelesaikan
masalah-masalah tertentu. Sebagai contoh, Khalifah Kuntu yang bergelar Datuk
Bandaro mempunyai tugas dan kewajiban menyelesaikan perkara adat. Apabila
Khalifah Kuntu ditugaskan menyelesaikan masalah adat dalam musyawarah Majelis
Dewan Menteri Kerajaan Kampar Kiri, maka bendera (tonggou) yang berdiri
adalah bendera Khalifah Kuntu. Begitu pula dengan tugas datuk-datuk lainnya.
Datuk Godang Khalifah Batu Sanggan berkewajiban menyelesaikan perkara pidana,
Datuk Marajo Basa Khalifah Ludai menyelesaikan masalah keamanan, dan Datuk
Bendahara Khalifah Ujung Bukit menangani urusan syarak (agama). Sebenarnya
sistem pemerintahan itu berpedoman pada sistem pemerintahan adat di Minangkabau
yang dikenal dengan Basa Ampek Balai (Tengku Ibrahim, 1939).
Dewan Menteri kedua kerajaan ini
mempunyai lima orang anggota. Wewenang datuk yang berkedudukan di ibu kota kerajaan
tidak sama dengan wewenang empat datuk lainnya. Keempat datuk di Kerajaan
Kuantan adalah: (a) Datuk Donan Putro yang berkedudukan di ibu kota Kerajaan
Cerenti dan Datuk Donan Sekaro yang berkedudukan di Inuman, yaitu daerah kesatuan
IV Koto di Hilir; (b) Datuk Raja Bisai yang berkedudukan di Taluk, yaitu daerah
IV Koto di tengah; (c) Datuk Habib yang berkedudukan di Lubuk Jambi, yaitu
daerah IV Koto di mudiak (hulu); (d) Datuk Paduko Rajo yang berkedudukan
di Lubuk Ambacang, yaitu daerah II Koto di mudiak (hulu).
Menurut catatan Schwarts (1892) seorang
Controleur Belanda yang menulis tentang keadaan politik dan ekonomi di
Landschap Kuantan kesatuan-kesatuan wilayah yang dibawahi kelima datuk
itu adalah Rantau Nan Kurang Oso Duo Puluo atau sembilan belas koto, yaitu
daerah kesatuan IV Koto di hilir yang meliputi Cerenti, Inuman, Basrah,
Pangean; daerah kesatuan IV Koto di tengah yang meliputi Sebrakun, Semendolak,
Benai, Kopah, Sentajo, Taluk, Kari; daerah kesatuan IV Koto di hulu yang
meliputi Kresek, Toar, Gunung, Telok Ringin, Lubuk Jambi, dan Sungai Pinang;
serta daerah kesatuan II Koto di hulu yang meliputi Lubuk Ambacang dan Sampuraga.
Landasan aturan bagi wewenang
pejabat-pejabat adat diungkapkan dalam ungkapan adat “Rantau dituruik
dengan undang, nagori batunggui jo pusako, kampung dilimbak jo limbago”,
yang berarti “Rantau diperintah raja, luhak diperintah orang besar, nagori
diperintah penghulu, kampung diperintah orang tua”. Selain itu terdapat
kalimat-kalimat sumpahan nenek moyang yang dipatuhi oleh setiap generasi, yang
berbunyi “Undang-undang basimpuah janji, cupak baparbuatan, sumpah manua
parbakala. Kalau rajo manguih dimakan biso kawi, kalau khalifah manguih dimakan
sumpah. Manokalo penghulu manguih dimakan perbuatan. Kalau urang banyak manguih
dimakan kutuak kalamullah saribu malam”. Kalimat-kalimat tersebut berarti
“Kalau melanggar sumpah akan terkena bisa kawi, khalifah akan dimakan sumpah.
Apabila penghulu melanggar sumpah akan dimakan perbuatan. Kalau orang banyak melanggar
sumpah akan dikutuk Tuhan sepanjang hidup”.
Dari urutan struktur organisasi
pemerintahan adat di atas, maka yang benar-benar mempunyai hak otonomi adalah nagari-nagari
atau kotokoto. Nagari berhak penuh mengatur ke dalam maupun ke luar.
Raja dan Urang Godang/Khalifah tidak mempunyai wewenang secara langsung untuk
mencampuri urusan dalam setiap nagari. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
pemerintahan di kedua kerajaan itu mengandung ciri-ciri demokrasi. Raja duduk
di atas tahta kerajaan atas persetujuan penghulu-penghulu (datuk-datuk) yang
merupakan wakil dari seluruh penduduk nagari. Hal ini didasari oleh perjanjian dan
sumpah sakti pada waktu upacara penobatan yang disaksikan oleh roh-roh nenek
moyang mereka. Oleh sebab itu, muncul pepatah yang berbunyi “Rajo adil rajo
disambah, rajo zalim rajo disanggah”.
Penghulu
kepala atau penghulu pucuk adalah penghulu segala penghulu yang ada dalam
setiap nagari. Dalam setiap nagari paling tidak terdapat empat
suku. Masing-masing suku klan) ini dipimpin oleh seorang penghulu suku yang
bergelar datuk. Perkembangan jumlah penduduk dan daerah pemukiman menyebabkan
jumlah suku dalam satu nagari lebih dari empat suku nagari,
misalnya saja di Lipat Kain (Kampar Kiri) terdapat sembilan suku dan di Gunung
Sahilan terdapat delapan suku. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
setiap penghulu suku dibantu oleh tiga orang pejabat adat. Penghulu suku
di Rantau Kuantan dibantu oleh monti, hulubalang, dan malin. Adapun penghulu
suku di Kampar Kiri dibantu oleh pucuak kampuang, hulubalang, dan
malin/pandito.
Seperti halnya dengan urang
godang/khalifah, maka penghulu kepala (penghulu pucuak) dan penghulu
suku beserta tiga orang pembantunya duduk di jabatan adat tersebut setelah
diangkat atas dasar garis keturunan (matrilineal) dari suku tertentu pada satu
rumah soko (perut) atau menurut garis keturunan ibu. Jabatan penghulu kepala/pucuak
nagari (penghulu pucuak) dan penghulu suku disahkan dengan upacara
adat memotong kerbau. Orang yang dipilih dari keturunan satu perut (asal satu soko)
adalah orang-orang yang memenuhi syarat kepemimpinan adat (Rahim A. dkk.,
1983/1984).
Pengangkatan tiga pejabat adat pembantu
penghulu suku tidak memerlukan upacara seperti di atas. Tugas monti (pucuak
kampuang) adalah sebagai pejabat eksekutif, hulubalang bertugas di
bagian keamanan, dan malin bertugas dalam urusan agama, sedangkan penghulu
suku bersama-sama dengan penghulu-penghulu suku dalam negeri lainnya serta
penghulu pucuk merupakan lembaga legislatif. Lembaga legislatif mengadakan
kerapatan adat di balai adat nagari (soko). Penghulu
kepala/penghulu pucuak tidak boleh menjalankan apa saja tanpa melalui musyawarah
semua penghulu suku terlebih dahulu. Begitu juga suara yang dibawa oleh
penghulu suku dalam kerapatan nagari adalah suara keputusan
musyawarah dalam sukunya.
Hak
seorang penghulu suku antara lain adalah memungut manah (memungut pajak)
yang berjumlah “sapuluh satu”, artinya 10%. Ungkapan seperti “Ka rimbo
babungo kayu, ka tambang babungo ameh, ka ladang ampiang” menunjukkan bahwa
penghulu suku berhak memungut pajak atas beberapa hasil. Hak lain adalah uang
ganti rugi retribusi yang dikenakan bagi orang luar yang membuka hutan untuk
berladang di tanah ulayatnya.
Selain
itu, dalam mengerjakan sawah ladangnya, penghulu berhak dibantu oleh penduduk,
terutama keponakannya secara sukarela. Tanah, pekarangan, istana raja, dan
istana khalifah digarap tiga kali setahun. Pendapatan raja lainnya berasal
dari monopoli penjualan gading gajah. Gading gajah dibeli oleh raja dengan
harga setengah dari harga pasaran. Di Kampar Kiri, raja memonopoli penjualan
emas. Pendapatan raja yang besar adalah dari hasil sawah ladang dan ternaknya
sendiri. Sesudah
Belanda masuk, hak raja untuk monopoli dan hak pancung alas (pajak hutan/kayu)
dihapuskan.
Syarat
berdirinya sebuah nagari yaitu terdapat masjid, balai adat, lapangan,
dan pasar labuah nan ramai). Antara bidang eksekutif (rumah gadang),
legislatif (balai adat), ekonomi (pasar/labuah), serta agama (masjid)
saling terkait. Empat sarana tersebut menjadi syarat utama bagi terbentuknya
sebuah pemerintahan adat.
Sebuah nagari terdiri dari koto,
kampuang, dusun, dan teratak. Sebuah nagari dapat
terdiri dari beberapa koto karena perkembangannya. Koto biasanya sebagai pusat pemukiman
dan di situ terdapat balai adat, masjid, lapangan, dan jalan yang agak ramai. Koto
adalah tempat berdirinya masjid nagari, balai adat, dan rumah gadang (soko)
setiap suku. Dulu mungkin ada tanah ulayat suku, tetapi sekarang yang
tinggal hanyalah ulayat kuburan suku. Oleh karena nagari-nagari di
kedua daerah ini terletak di pinggir sungai, biasanya lokasi koto itu
terletak di daerah yang lebih tinggi dari lainnya. Barangkali hal ini ada
hubungannya dengan pandangan tradisional yang beranggapan bahwa tempat yang
tinggi dipandang lebih suci. Alasan lain adalah untuk menghindari bahaya
banjir.
Koto dibagi lagi
dalam beberapa kampung. Penduduk
dalam satu kampung merupakan satu kesatuan suku. Pola perkampungan mengelompok
menurut suku (klan), kemudian karena perkembangan dan mobilitas penduduk,
pola perkampungan yang mengelompok ini berubah. Pengelompokan ini ada
hubungannya dengan sejarah terjadinya sebuah nagari yang dimulai dengan
pembukaan hutan oleh beberapa keluarga. Proses pertama membangun teratak,
kemudian berubah menjadi dusun dan kampung serta seterusnya menjadi koto.
Akhirnya, koto dapat berkembang menjadi nagari.
Ladang
dan sawah terletak di luar koto. Perladangan dibangun dengan jalan
menebang hutan secara bersama-sama oleh kelompok banjar. Pola seperti
ini ada di kedua daerah tersebut (Rahim A. dkk., 1984/1985). Pada zaman dulu,
setiap koto diberi parit atau pagar yang terbuat dari kayu, bambu,
dinding batu, atau tanah liat untuk menjaga keamanan. Daerah sekitar koto,
termasuk dusun, teratak, tanah perladangan/sawah, hutan serta
sungai-sungai yang ada dalam lingkungan nagari adalah tanah ulayat
nagari. Semua warga masyarakat nagari berhak menikmati hasil serta
apa saja yang hidup dan ada di atasnya. Bagi orang luar yang memungut hasil
atau mengolah tanah wajib membayar retribusi kepada penghulu. Tanah milik
pribadi tidak dikenal, kecuali hak milik terbatas, sedangkan tanah pusaka
merupakan tanah komunal yang hak pakainya turun-temurun. Dalam perkembangannya,
kemudian ada tanah yang dibeli, disewakan, atau dipinjamkan. Setelah berlakunya
UUPA 1960, tanah jenis ini dikenal sebagai tanah hak milik bebas.
Pemimpin di bidang agama dalam sebuah
kerajaan adalah khadi yang berkedudukan di ibu kota kerajaan. Ia
bertugas dan berwenang melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah
agama, misalnya mengawinkan orang, membacakan doa pada upacara penobatan raja,
serta upacara-upacara kerajaan lainnya seperti pernikahan raja, pernikahan
anggota keluarganya, dan pernikahan pembesar-pembesar istana lainnya. Tugas khadi
juga mengumpulkan semua zakat fitrah masyarakat, termasuk dari anggota
keluarga raja. Sebagian dari dana yang terkumpul digunakan untuk kepentingan
agama, seperti membangun masjid di ibukota kerajaan atau disumbangkan kepada
pembangunan masjid-masjid lainnya.
5. Kedudukan Dan Pengaruh Adat Dalam Pemerintahan Sekarang
Kedudukan dan pengaruh kaum adat mulai mengalami goncangan setelah masuknya tentara Jepang pada tahun 1942 dan semakin bergeser setelah masa Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945–1950. Kedua daerah bekas kerajaan ini dijadikan kawedanan. Kekuasaan kaum adat digantikan administrasi pemerintahan Republik Indonesia. Keadaan ini merupakan suatu revolusi, yaitu perombakan total. Daerah yang sebelumnya merupakan sebuah kerajaan sekarang hanya menjadi kawedanan. Fungsi raja dan urang godang/khalifah dihapus sama sekali, sedangkan fungsi penghulu kepala/pucuak nagari diubah menjadi wali nagari. Jabatan ini tidak lagi ditentukan menurut garis keturunan, tetapi atas dasar pemilihan oleh rakyat menurut kemampuan dan republiken. Pemilihan wali nagari berpedoman pada Indische Staats Regeling Pasal 128. Masyarakat desa berwenang memilih kepala desa yang dikehendakinya yang pelaksanaannya ditetapkan oleh bupati sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Kedudukan dan pengaruh kaum adat mulai mengalami goncangan setelah masuknya tentara Jepang pada tahun 1942 dan semakin bergeser setelah masa Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945–1950. Kedua daerah bekas kerajaan ini dijadikan kawedanan. Kekuasaan kaum adat digantikan administrasi pemerintahan Republik Indonesia. Keadaan ini merupakan suatu revolusi, yaitu perombakan total. Daerah yang sebelumnya merupakan sebuah kerajaan sekarang hanya menjadi kawedanan. Fungsi raja dan urang godang/khalifah dihapus sama sekali, sedangkan fungsi penghulu kepala/pucuak nagari diubah menjadi wali nagari. Jabatan ini tidak lagi ditentukan menurut garis keturunan, tetapi atas dasar pemilihan oleh rakyat menurut kemampuan dan republiken. Pemilihan wali nagari berpedoman pada Indische Staats Regeling Pasal 128. Masyarakat desa berwenang memilih kepala desa yang dikehendakinya yang pelaksanaannya ditetapkan oleh bupati sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Kedudukan
kaum adat pada masa sebelum kebijakan Pelita adalah membantu kepala desa dalam
wadah Lembaga Masyarakat Adat. Meskipun kaum adat hanya berfungsi sebagai pembantu
dan bukan lagi sebagai pengambil keputusan, akan tetapi pengaruh dan peran
mereka dalam masyarakat masih besar. Kalau berbicara tentang kaum adat,
berarti juga membicarakan tentang kaum ulama. Dengan kata lain, kaum adat dan
kaum ulama sebelum Pelita berada dalam satu kesatuan yang kokoh.
Sesudah keluarnya Undang-undang Nomor 5
tahun 1979 Pasal 4 tentang Pemerintahan Desa, di samping kepala desa terdapat
suatu lembaga yang berfungsi sebagai pembantu kepala desa dalam pembangunan
yang bernama Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Lembaga ini dijadikan wadah
tokoh-tokoh masyarakat pedesaan yang ditunjuk oleh kepala desa/lurah dengan
persetujuan camat. Fungsi LKMD adalah untuk membantu kepala desa/lurah dalam
melaksanakan pembangunan. Masalahnya sekarang adalah bahwa tokoh adat yang
duduk pada lembaga terbatas jumlahnya. Mereka tidak dapat mewakili semua tokoh
adat yang ada di desa. Berdasarkan penelitian tahun 1981, proses pemilihan
tokoh adat yang duduk di LKMD bukan melalui kesepakatan semua tokoh adat di
desa, tetapi atas dasar penunjukan. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam
pembangunan tidak seperti yang diharapkan, meskipun hal ini tidak terjadi di
semua desa. Seperti diketahui, peran dan pengaruh tokoh adat masih
besar pada sebagian besar desa di Riau (Rahim A. dkk., 1981/1982). Barangkali
perlu dicari jalan keluar yang lebih baik agar partisipasi aktif dari semua
lapisan masyarakat dalam pembangunan ini dapat meningkat dan menyeluruh,
sehingga hal yang ingin dicapai dalam pembangunan desa betul-betul menjadi
kenyataan.
Daftar Pustaka
Ibrahim,
T. H. I. M. 1939. Sejarah Adat-istiadat Kampar Kiri. Bukittinggi: Syamaratul
lkhwan.
Koentjaraningrat.
1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Mansoer
M. D. dkk. 1970. Sejarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara.
Rahim
A., M. 1981. Kerajaan Kuantan. Makalah Seminar Sejarah Nasional III,
Jakarta.
––––––––––.
1981/1982. Sejarah Pengaruh Pelita di Daerah Terhadap Kehidupan Masyarakat
Pedesaan Daerah Riau. Jakarta: Proyek IDKD Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
––––––––––.
1983. Rantau Nan Kurang Esa Dua Puluh. Pekanbaru: Proyek Peningkatan/Pengembangan
Perguruan Tinggi Pusat Penelitian Universitas Riau.
––––––––––.
1983/1984. Sistem Kepemimpinan di Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Riau.
Jakarta: Proyek IDKD Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
––––––––––.
1984/1985. Pola Penguasaan, Pemilikan, dan Penggunaan Tanah Secara
Tradisional di Daerah Riau. Jakarta: Proyek IDKD Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
––––––––––.
1985. Adat Melayu Riau di Kerajaan Kampar Kiri/Gunung Sahilan. Makalah
Pertemuan Budaya Melayu Riau, Pekanbaru.
Schwarts,
H. E. F. 1892. Nota Over den Politieken en Economische Toestand van het
Landschap Kuwantan. Batavia: Abrecht & Rusche. ____________________________ Makalah ini
disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang
diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/10/pemerintahan-adat-melayu-rantau-kuantan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar